Sekolah formal masih merupakan pilihan yang jauh lebih masuk akal dan normal dalam hal pendidikan anak-anak bagi kebanyakan orang. Hampir semua pembahasan tentang pendidikan akan selalu terfokus pada sekolah dalam bentuk yang sudah umum diketahui masyarakat.
Adapun homeschooling, tidak semua orang pernah mendengarnya, apalagi menjadikannya pilihan metode pendidikan. Sekedar memperjelas, yang kami maksudkan homeschooling di sini bukanlah program yang ditawarkan oleh suatu lembaga atau yayasan. Melainkan manajemen pendidikan berbasis keluarga di mana orang tua adalah penanggung jawab utama. Jumlah praktik homeschooling seperti ini masih sangat sedikit.
Namun jika anda tertarik pada homeschooling lembaga atau yayasan, bisa cek biayanya di berapa biaya homeschooling.
Namun dengan munculnya pandemi dan diterapkannya solusi persekolahan berupa pembelajaran jarak jauh (PJJ), hampir semua orang tua kemudian mempraktekkan homeschooling meskipun masih dalam arti harafiahnya yaitu sekolah di rumah.
Sayangnya, kesan paksaan masih terlalu dominan dalam praktik belajar di rumah ala PJJ. Akibatnya, ketika masalah muncul, mudah bagi orang tua untuk menuduh sekolah atau pihak lain yang dianggap bertanggung jawab atas PJJ ini.
Kami sendiri melihat ini sebagai peluang bagi orang tua untuk menjajaki new normal bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Dan, daripada menyalahkan ketidakefektifan PJJ, bukankah lebih baik mengambil tanggung jawab itu kembali dengan menjalankan homeschooling secara total?
Bukan Pilihan yang Mudah
Kami pertama kali memutuskan untuk homeschooling keluarga kami belasan tahun yang lalu ketika kami baru menikah dan tidak memiliki anak.
Namun saat itu kami memilih bukan karena terpaksa melakukan hal seperti pandemi saat ini. Kami bermaksud untuk bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anak. Karena berdasarkan pengamatan kami, sekolah tidak mewakili gambaran kami tentang lingkungan yang ideal untuk belajar.
Selain itu, sering terjadi hubungan ketergantungan yang berlebihan terhadap sekolah. Akibatnya, banyak orang tua yang terkesan merelakan masalah belajar anaknya di sekolah.
Sekolah dijadikan sebagai jasa laundry, dimana orang tua menyerahkan anaknya dan hanya menerima hasil bersihnya saja. Sekolah merupakan penentu keberhasilan sekaligus pihak yang patut disalahkan jika anak tidak berkembang sesuai harapan orang tuanya.
Cukup idealis bukan? Padahal kami bukan orang tua dengan latar belakang pendidikan yang paham banyak teori. Kami juga bukan orang garis keras yang melihat setiap kesempatan sebagai kesempatan belajar. Itulah mengapa ketika Anda memutuskan untuk memilih homeschooling, ada perasaan sejuk dan bangga karena pilihan itu.
Namun kami akui bahwa homeschooling bukanlah pilihan yang mudah. Melihat kuartet anak-anak yang lebih memilih berlatih jurus Ultraman daripada Jarimatika, atau sesi membaca yang sering berubah menjadi adu buku terkadang membuat diri kita sendiri resah.
Namun, hal itu tidak lantas membuat kami putus asa dan menyerah. Homeschooling adalah sesuatu yang mungkin penuh dengan kesulitan. Tapi tidak sampai ke level yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Memang, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan harus hati-hati, tetapi yakinlah, itu bisa dilakukan dan itu sepadan.
Menjawab Keraguan
Di antara pertimbangan yang paling sering membuat orang tua ragu untuk menerapkan homeschooling adalah mampu atau tidaknya orang tua menjadi ‘guru’ bagi anaknya. Ini adalah pemikiran yang masuk akal melihat banyak orang yang berpikir bahwa homeschooling adalah memindahkan sekolah ke rumah. Jadi, sebagai konsekuensinya, orang tualah yang dianggap sebagai guru bagi anak-anaknya.
Munculnya pandemi ini seolah membawa hikmah berupa sanggahan langsung atas keraguan tersebut. Memang masih banyak keluhan dari orang tua karena belum terbiasa dan merasa kewalahan. Namun dengan kondisi seperti itu, banyak rekan orang tua yang terbukti mampu mendampingi proses PJJ anaknya. Ini adalah modal besar untuk homeschooling.
Selain itu, ada dua hal yang bisa ditambahkan untuk menjawab keraguan tentang menjadi pendidik bagi anak. Pertama, semua hal yang ‘harus’ diketahui anak sebelum mereka dewasa juga harus diketahui oleh orang tuanya. Misalnya, pengetahuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, ini harus diketahui oleh orang tua.
Atau, misalnya, lebih khusus dalam agama (Islam). Pengetahuan yang berkaitan dengan dasar-dasar seperti rukun Islam, rukun iman, wudhu, shalat, Alquran dan lain-lain memang merupakan ilmu minimal yang harus dimiliki seorang muslim dewasa. Dan sepertinya tidak mungkin seseorang menjadi orang tua tanpa menjadi dewasa terlebih dahulu. Bahkan ketika kita mungkin masih kurang dalam hal itu, tidak bisakah ini menjadi kesempatan untuk belajar dan berkembang?
Kami sendiri pernah disebut salah niat oleh seorang ustadz baru belajar membaca Al Quran dengan benar setelah malu dan khawatir memikirkan punya anak nanti.
Kemudian, kasus kedua berkaitan dengan pelajaran yang mungkin tidak wajib, tetapi mungkin perlu dan bermanfaat. Pengetahuan ini biasanya terkait dengan minat, hobi, dan cita-cita anak. Untuk yang satu ini, jawabannya bahkan lebih mudah. Karena kecenderungan untuk belajar mandiri akan lebih mudah muncul pada hal-hal yang sesuai dengan minat. Jadi orang tua hanya memfasilitasi saja.
Dan, bertentangan dengan pendapat sebagian praktisi homeschooling yang berusaha menjadi guru tunggal bagi anaknya, sangat memungkinkan bagi orang tua untuk meminta bantuan kepada orang lain yang mampu bersikap pantas. Misalnya, hobi putra sulung kami adalah membaca dan olahraga. Karena ayahnya juga suka membaca, jadi tidak terlalu sulit untuk memfasilitasinya. Tetapi ketika berbicara tentang olahraga, kita harus menyadari bahwa itu bukan keahlian saya.
Itu sebabnya dia terdaftar di sekolah seni bela diri. Dan, rasanya membeli bola untuk digunakan bersama saudara perempuan dan teman-temannya bukanlah hal yang paling sulit di dunia, bahkan untuk orang buta bola seperti saya.
Kehadiran pandemi dapat membatasi pilihan ini. Namun masih banyak alternatif lain yang dapat membantu para orang tua.
Mungkin kita masih ingat dengan siswa SMA yang viral dalam sebuah video beberapa minggu lalu karena mengatakan bahwa Google lebih pintar dari sekolah. Memang, jika Anda hanya ingin pintar, semua pengetahuan sekarang dapat diakses dengan mudah melalui internet. Belum lagi munculnya berbagai aplikasi dan kelas online yang materinya lebih spesifik dan fokus.
Dengan memanfaatkan fleksibilitas homeschooling, proses pembelajaran bisa lebih maksimal jika dibandingkan dengan metode PJJ yang sistemnya lebih kaku.
Tangkap Peluangnya
Ada satu hal lagi yang biasanya membuat orang tua ragu dalam memilih homeschooling. Yakni, legalitas ijazah alias.
Memang, saat ini, belajar tidak bisa hanya sebatas mengejar ilmu. Ijazah sebagai bentuk pengakuan juga terkadang dibutuhkan untuk berbagai kondisi. Homeschooling tidak menentangnya. Bagaimanapun, homeschooling tidak ilegal; dibahas secara implisit dalam UU no. 20/2003 sebagai Pendidikan Informal. Selain itu, ada juga Permendikbud 129/2014 yang menyebutkan home schooling.
Soal ijazah bisa diperoleh dengan mengikuti Ujian Setara atau Pengejaran Paket yang diadakan di PKBM. Ijazah ini sama dengan ijazah sekolah umum. Ijazah Paket C, misalnya, bisa digunakan untuk mendaftar di perguruan tinggi. Banyak anak homeschooling telah melalui proses seperti ini.
Dengan adanya payung hukum ditambah dengan pembahasan sebelumnya, sebenarnya sangat mungkin jika pendidikan nasional diarahkan untuk memaksimalkan penerapan homeschooling. Tapi itu hak pembuat kebijakan.
Kami hanya berharap rekan-rekan orang tua memanfaatkan peluang di tengah pandemi ini. Setidaknya untuk menjadikan homeschooling sebagai pilihan yang layak dipertimbangkan. Karena memulai sesuatu yang baik terkadang membutuhkan momentum yang tepat. Dan, mungkin tidak ada kesempatan yang lebih memotivasi seperti ini di masa depan.